Geliat distribution store (Distro) atau clothing ternyata sudah lama dirintis oleh penggila under groud Malang. Gaungnya yang semakin menjadi trend fashion seperti sekarang malah dianggap sebagai sistem penjualan yang melenceng dari semangat awal kelahirannya.
Sekitar 15 tahun lalu, penggiat clothing di Malang mendirikan usaha konveksi sebagai bagian dari semangat DIY (Do It Your Self), mendanai pergerakan underground dan idealisme musik mereka tanpa terpengaruh pasar besar dengan sistem pemasaran yang dianggap mengeksploitasi pembeli dan hanya berorientasi pada keuntungan saja.Clothing saat itu memiliki cita-sita untuk tetap eksis mendanai pergerakan mereka dan menyediakan baju dan berbagai aksesoris band dengan kualitas terbaik tanpa harga selangit. Seperti usaha konveksi clothing bermerek Torment di daerah Tanjung, Malang.
Berdirinya konveksi dengan merek Torment milik Indra Prastowo alias Mento melalui perjalanan yang cukup panjang. Sebelum usahanya berdiri, usaha konveksi dan clothing telah dirintis dan teman-teman under groundnya sekitar 15 tahun lalu. Saat itu, Mento yang hingga kini tetap aktif dalam dunia band bersama Keramat, mulai merintis bisnis clothing sebagai pelengkap kostum band dengan cara order dan penjualan ala distro dan by hand atau kirim langsung.
”Jadi saat itu semua baju dan aksesoris band kami jual kepada teman-teman di luar Malang melalui kontak person teman band kami. Sistem pembuatan konveksi juga masih tradisional, saya memesan baju dan sablonan di orang-orang yang berbeda, jadi saya hanya titip merek saja,” ujar Mento yang mengaku baru memiliki mesin konveksi sendiri sekitar tiga tahun yang lalu.
Dengan bermodal sekitar Rp 15 juta, Mento lantas membeli tiga buah mesin konveksi seperti mesin jahit, obras, dan satu mesin kelim bertenaga listrik. Sejak memiliki mesin sendiri, praktis seluruh pesanan dapat tergarap dengan maksimal dan selesai tepat waktu.
Mento mengaku, dalam satu bulan, produk clothingnya mencapai omzet hingga Rp 5 juta. Selain memproduksi mereknya sendiri, ia juga menerima pesanan clothing dari rekan-rekannya. Pesanan dari clothing yang lain ini mampu menambah omzetnya hingga Rp 6 juta per bulan.
Untuk menggaji tiga karyawannya, Mento menerapkan system bagi hasil, 60:40. ”Sistemnya kan per potong saja, jadi harga satu potong kami bagi 40 persen langsung untuk mereka,” lanjutnya.
Sistem bagi keuntungan ini ternyata cukup efektif untuk membuat karyawan bekerja lebih giat. Maklum saja, semakin banyak kaos yang mereka hasilkan, semakin besar juga pendapatan yang akan diperoleh.
Tiga tahun sejak memiliki mesin sendiri, Mento memutar seluruh keuntungan yang diperoleh untuk menambah investasi. Kini, Mento mempunyai tujuh mesin konveksi dari tiga mesin yang dimiliki di awal.
Utamakan Pesanan, Nomor Duakan Torment
Setelah memiliki perusahaan konveksi sendiri tidak berarti Mento bebas mengembangkan Torment. Banyaknya order dari clothing lain seringkali membuat Mento menomor duakan jadwal produksi dari clothing miliknya. Meskipun begitu, Mento mengaku profit dan efeisiensi dalam berbagai hal lebih baik jika memiliki konveksi sendiri dibanding tergantung dengan pengusaha konveksi lainnya.
Dengan memiliki konveksi sendiri, Mento mengaku banyak perbaikan yang dirasakan. Sebelumnya Mento menghabiskan waktu untuk mencari konveksi yang mampu menyelesaikan pesanan miliknya sesuai deadline. Setelah itu ia masih harus mencari penyablon yang juga bisa segera menyelesaikan tepat waktu. ”Efisiensi dana bisa lebih terlihat. Banyak anggaran yang sebelumnya saya bagi dengan mereka serta tranportasi kini lebih tercurah untuk konveksi saya sendiri,” ujar gitaris Keramat ini.
Selain itu, dengan memiliki konveksi sendiri Mento jadi memiliki style design baju yang berbeda dari umumnya. Styale pembuatan baju diakuinya memang berbeda di setiap konveksi. Style baju dari konveksinya pun kini dikatakan menjadi salah satu yang dianggap terbaik dan berbeda. ”Style potongan baju saya dianggap berbeda, jadi banyak clothing yang pesan baju konveksi dari saya,” katanya bangga.
”Tapi kemudian, saya menyervis mereka dulu. Torment jadi sering telat jadwal produksinya, walaupun tidak terlalu parah juga,” tambahnya.
Lantas apa bedanya Torment dengan Clothing lain? Mento menjawab, perbedaan penting ada pada design print atau sablon yang mewarnai baju produksi Mento. Dalam hal design printing, Mento mengaku desain masing-masing clothing pasti berbeda tergantung pembuatnya. Untuk Torment, Mento mengaku ciri khas terletak pada warna dasar yang dominan hitam, printing berbau dunia kegelapan atau setelah mati, simbol-simbol religi, tengkorak ataupun motif tribalis yang lekat dengan simbol kematian. ”Torment kan memang semangatnya dunia kematian, gelap penuh dosa, sama dengan dunia yang menjejak tanah. Putih ada di langit, dan gelap, tanah, dosa tempatnya di dunia,” kata Mento mengenai filosofis dari Torment.
Konveksinya memang hanya akan memproduksi baju, jaket atau celana tanpa design printing. Sebab untuk printing, Mento mengaku dirinya belum memiliki teknologi printing yang bagus untuk kaos. ”Torment juga menyablon di tempat lain, karena kami belum memiliki alat printernya. Mungkin ke depan kami ingin menambah pengadaan mesin printer,” ujar Mento bercita-cita. (pit/han)
Konsisten Kualitas Bagus, Harga Murah
Bisnis clothing yang digeluti Mento memang mengalami sejumlah kendala untuk berkembang. Di antara desakan clothing dan konsep distro yang kini dinilai telah menyalahi semangat awal, Mento tetap berkeinginan untuk membesarkan konveksinya dengan cara yang tetap underground dan dengan semangat DIY. Walaupun ia juga tidak menampik jika ada niatan baik dari Pemkot untuk ikut membantu membesarkan pengusaha konveksi kecil seperti dirinya dan teman-teman lainnya.
Ia berharap ada ruang yang cukup untuk representatif untuk mendisplay produk mereka dengan ongkos yang juga bersahabat. Jika Pemkot memfasilitasi dengan menyediakan tempat khusus, menurutnya akan sangat membantu untuk pengembangan usaha clothing di Malang.
Sistem Distro yang lebih mengarah ke arah Fashion menyediakan barang dengan kwalitas baik namun dengan bandrol harga yang juga sama mahal dengan barang bagus lain yang ada di mal-mal. ” Itu karena sistem penjualan mereka tidak lagi memakai semangat DIY, banyak biaya yang harusnya tidak ada dapat di maksimalkan untuk biaya produksi dan menekan harga jual,” ujarnya.
Hasilnya baju yang dijual di Distro saat ini rata-rata dijual dengan harga tak kalah mahal dengan di Mall dengan embel-embel ekslusif dan dicetak dengan jumlah terbatas atau Limited Edition. Semangat yang sama yang juga dilakukan di produk baju milik Mento, dengan design yang limited dan kwalitas yang bagus, Mento yang menjual dengan sistem By Hand atau underground mematok harga yang masih lebih murah dibanding harga produk yang sama yang ada di Distro Malang.
Selain masalah harga, Mento juga melihat style fashion yang ada di Distro pun kini lebih kepada selera Fashion yang ada di masyarakat, bukan pada idealisme awal yaitu kebutuhan band dan aksesoris musik. Design baju yang diciptakan pun disesuaikan dengan pasar dan fashion yang ada, dengan tetap mengambil nama Distro sebagai model penjualan yang disebut secara Distribusi dan barang yang dicetak secara limited edition.
Meskipun begitu, Mento juga mengakui bahwa style miliknya pun berkiblat pada pasar tanpa menghilangkan idealisme awalnya. Selera urban atau budaya pendatang memang banyak mempengaruhi pola konsumsi warga Malang, jadi mau tidak mau Mento tetap mengambil referensi dari selera urban terutama dalam style kostum Street Wear tanpa mengurangi idealisme distronya.
”Menyediakan kostum dengan kualitas terbaik dengan desian dan kualitas oke yang bisa terjangkau semua kalangan, bukan baju mahal dan hanya dipakai mereka yang berduit. Sementara banyak warga lain yang hanya bisa ngiler terpinggirkan karena modernisasi dan konsumerisme yang dijadikan sumber uang bagi para pemodal,” tandasnya.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar