Menjelang maghrib, sekitar 18 tahun lalu, aku naik becak bersama ibu membawa sebuah mesin jahit. "Mengapa malam-malam sih Bu?" tanyaku yang waktu itu berusia lima tahun, "Biar tidak dilihat orang." Jawab ibuku. Setelah agak besar, aku baru memahami maksud ibuku membawa mesin jahit itu malam-malam, yaitu supaya si penjual mesin jahit tidak malu.
Mesin jahit tersebut milik orangtua temanku, tetanggaku sendiri, sebut saja namanya Siti. Bapak Siti dahulunya adalah seorang penjahit, namun sejak menderita sakit jantung dan harus keluar masuk rumah sakit, pekerjaannya terhenti. Ibu Siti adalah penjual jamu keliling yang penghasilannya tak seberapa. Untuk biaya hidup dan pengobatan, mereka terkadang harus menjual barang-barang yang ada di rumah, termasuk mesin jahit.
Ibuku sendiri sebenarnya tidak pandai menjahit, karena niatnya ingin menolong tetangga maka ibuku pun bersedia membeli mesin jahit itu. Tak lama setelah urusan jual beli itu, bapak Siti meninggal.
Sebelas tahun kemudian, usaha bapakku mengalami kebangkrutan. Keadaan ekonomi keluarga kami demikian terpuruk, sementara bapak sendiri seperti sudah patah semangat. Di saat itulah ibu mengambil peran, sebisanya.
Ibu tidak mempunyai keterampilan yang dapat dikomersilkan. Satu-satunya keterampilan yang dimiliki adalah menjalankan mesin jahit, hal ini tidaklah istimewa, sebab sewaktu masih SD aku pun bisa melakukannya.
Bermula dari mesin jahit itu, tetangga menyarankan untuk menjahit produk sekali pakai yang dihasilkan oleh sebuah perseroan di Bantul. Bahan dan potongannya sudah siap, ibu tinggal mengambil di tempat yang telah ditentukan, kurang lebih 7 km dari rumah. Upah yang diperoleh setiap produknya saat itu antara 10 hingga 90 rupiah, bergantung jenis produk dan tingkat kesulitan pengerjaannya.
Dengan tekun, ibu terus mengambil jahitan dan menyelesaikannya tepat waktu. Karena usahanya itu, ibu pernah mendapatkan hadiah dan penghargaan sebagai karyawan teladan.
Beberapa tahun kemudian, seiring dengan semakin berkembangnya perusahaan, perseroan tersebut membuka cabang di dekat rumah. Ibu yang dikenal baik oleh pimpinannya, diserahi tanggung jawab untuk menunggunya. Sejak itu, ibu bekerja tetap.
Itu semua tidak lepas dari hadirnya mesin jahit itu. Ibu mengatakan bahwa harta yang barokah akan menghasilkan manfaat yang lebih besar. Mesin jahit itu dulunya dimiliki dengan tujuan baik, maka hasil yang diperoleh juga baik.
Kehadiran mesin jahit itu telah memberikan manfaat yang banyak bagi keluarga kami. Pertama, mengantarkan ibu untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tetap dan beberapa tunjangan. Kedua, tempat kerja ibu tidak jauh dari rumah, sehingga cukup ditempuh sepuluh menit dengan sepeda. Ketiga, di tempat kerjanya, ibu sering menjual barang-barang seperti baju, perabot rumah tangga, dan lainnya dengan cara potong gaji (ini tidak sulit, karena ibu juga bertanggung jawab atas penggajian karyawan). Bahkan, ada beberapa orang yang menitipkan makanan untuk dijualkan. Keempat, orang-orang yang mengambil jahitan pada ibuku adalah ibu-ibu dusun yang masih mempunyai rasa kekeluargaan tinggi, karenanya tidak jarang mereka membawakan makanan, bumbu dapur, dan barang-barang untuk ibu. Kelima, di rumah, ibu masih sempat menerima jahitan untuk mengisi waktu luang, hal ini juga menjadi tambahan penghasilan.
Dari semua rezeki itu, ibu mampu membiayai sebagian besar biaya pendidikan kami, dua di perguruan tinggi dan satu di SMK. Selain itu, mesin jahit yang terbuat dari kayu jati tersebut mempunyai keistimewaan, jarang rusak. Jika ada orang yang menawarnya, ibu akan langsung menggeleng, sambil berkata "Maaf, tidak dijual".